Cerpen Cinta

PENGORBANAN CINTA

Sepasang kekasih sedang melaju lebih dari 100 km/jam di jalan dengan sebuah motor.
...
Cewek : Pelan-pelan, aku takut.
...
Cowok : Tidak, ini menyenangkan.

Cewek : Tidak, ini sama sekali tidak menyenangkan. Please, aku takut!

Cowok : Baik, tapi katakan dulu bahwa kamu mencintaiku.

Cewek : Aku mencintaimu! Sekarang pelankan motornya!

Cowok : Sekarang beri aku pelukan yang erat.

(Lalu si cewek memeluknya)

Cowok : Bisakah kamu melepas helmku & kamu pakai? Helm ini sangat menggangguku!

(Si cewek itu pun menurutinya)

Keesokan harinya ada berita di koran sebuah sepeda motor menabrak gedung karena rem-nya blong.

Ada dua orang di atas motor itu, tetapi hanya satu orang yang selamat.

Yang terjadi sebenarnya adalah bahwa di tengah jalan saat kecepatan tinggi, si cowok berusaha me-Rem utk memperlambat, tp si cowok menyadari bahwa rem motornya rusak, tapi dia tidak ingin membiarkan kekasihnya tau.

Dia meminta kekasihnya berkata dia mencintainya & merasakan pelukannya, karena dia tau itu untuk terakhir kali baginya.

Dia lalu menyuruhnya memakai helm supaya kekasihnya akan tetap hidup walaupun itu berarti ia yang akan mati...

Pernahkah kamu mencintai seseorang sampai sebesar ini ???
Ataukah hanya sebatas memperhatikannya, peduli, menelpon / mengirimkannya sms hanya untuk membuatnya bahagia?

Pernahkah kamu mengatakan "AKU MENCINTAIMU" padanya?

Ataukah kamu menunggu untuk mengatakan itu disaat kamu berada dlm situasi seperti diatas motor itu?

Jika tidak, kamu masih punya kesempatan untuk mencintainya lebih lagi.

Jangan menyimpan rasa cinta itu hanya di dalam hati. Katakan padanya bahwa kau mencintainya

Karena kamu tidak pernah tau, apakah besok kamu masih punya waktu dan kesempatan untuk mengungkapkannya.



 PERMINTAAN TERAKHIRKU
  
“Happy birthday Mega.. Happy birhday Mega.. Happy birthday, Happy birthday Happy birthday Mega.”
Terdengar suara dari balik pintu. Dengan sigap ku alihkan pandanganku menuju ke arah pintu. Seketika mataku berbinar, seolah tak percaya akan semua ini.. kulihat Arfan, Vella, Bunga dan Dista menghampiri ku sambil membawa sebuah kue kecil berhias lilin angka 17. mereka semua tersenyum menatapku, seakan menanamkan seungguk kekuatan pada diriku.
“Happy birthday my dear.” ucap Arfan seraya mengecup keningku, kurasakan kehangatan telah masuk ke dalam lubuk hatiku.
Kukumpulkan sisa-sisa tenagaku dan perlahan kubuka mulutku. Butiran air mata telah membendung di pelupuk mata ini. ‘Kenapa? Kenapa untuk berbicara saja aku tak bisa? Kenapa untuk membalas ucapan Arfan saja aku tak mampu?’ keluhku.

Aku memang hanya seorang gadis cacat yang sejak kecil telah di diagnosa mengidap penyakit yang mematikan. Aku memang hanya mampu tertidur di ruang suram ini, ditemani infus yang selalu tertancap dalam di tangan kiriku.
‘Ya Tuhan.. kapan aku bisa bangun dari tempat tidur ini? Kapan aku bisa melepas semua alat-alat asing yang sudah semakin menusuk tubuhku? Kapan aku bisa berhenti menelan butiran obat-obat pahit itu?’
Tak terasa air mata ini telah mengalir deras membasahi pipiku. Arfan pun menghapus air mataku. “Mega kamu jangan sedih. Aku gak mau kamu sedih di hari istimewa ini, sayang.” ucapnya dengan nada lembut. Tetapi aku belum mampu menghentikan tangisan ini.
‘Tuhan mengapa engkau kirim orang sebaik Arfan untukku? Arfan tak pantas untuk seseorang gadis cacat sepertiku? Cintanya terlalu berharga untukku. Aku tak mampu membalas cintanya, Tuhan.’
“Udah dong jangan pada nangis. Kaya nonton film drama aja. Hehe.. Oke sekarang waktunya tiup lilin” ujar Bunga menyadarkanku.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga…”
Nyanyian itu terdengar sangat nyaring ditelingaku. Bahkan mampu membentangkan senyumku.
“Make a wish, Mega” teriak Vella.

Aku tersentak, perlahan ku pejamkan mata. ’Tuhan terima kasih engkau telah mengirimkan orang-orang yang sangat sayang padaku. Aku tidak meminta banyak. Aku hanya minta, kau panjangkan umurku, ya Tuhan. Izinkan aku untuk membahagiakan orang-orang yang selama ini telah membahagiakanku. Izinkan aku untuk sembuh. Aku ingin lebih lama menghirup udaraMu bersama teman-temanku. Bersama Arfan. Aku ingin lebih lama berada di samping Arfan. Aku ingin terus menatap senyumnya. Kabulkanlah sebuah permintaan sederhana ini Tuhan. Dan mungkin ini kan jadi permintaan terakhirku.’
Tak lama, pandanganku mulai buyar. Dadaku terasa sangat sesak, seperti tak ada ruang untuk bernapas. Dan akhirnya semuanya menjadi gelap dan sangat gelap.

Samar-samar ku lihat Arfan dan teman-temanku sedang duduk cemas di balik ruang UGD ini. Dan disampingnya, kulihat sebuah kue yang lilinnya tadi belum sempat ku tiup. Tubuhku terasa sangat lemas bahkan aku tak sanggup menghapus butiran air mata yang telah menghujani pipiku. Aku hanya bisa diam membisu, menatap wajah lelaki berseragam putih itu sedang menancapkan alat-alat asing ditubuhku.
Nafasku mulai terasa sesak kemabali. Mungkin inilah akhir dari cerita hidupku.
’Maafkan aku teman-teman. Maafkan aku Arfan. Mungkin memang Tuhan tidak mengizinkan ku untuk hidup lebih lama lagi. Terima kasih, karena kalian telah menggoreskan tinta indah di dalam hidupku. Membuat hidupku lebih bermakna.
Selamat tinggal semua.’


Cerpen Karangan: Tutut Setyorinie

Terima kasih ya.. udah meluangkan waktunya untuk membaca 

 cerpen ini. 

*Happy Read*



 

Kau Yang kan Ku Lupakan Tapi Selalu Terbayangkan


 Di tengah keindahan malam yang berselimut bintang. Devi duduk seperti tak beryawa, senyumnya yang dulu ceria kini jadi air mata. Dengan rasa tidak karuan ia mencoba mencari ketenangan di kamar depan rumahnya. Matanya yang bening bagaikan embun pagi yang tak tersentuh oleh manusia kini sering memuntahkan cairan perasaan yang bersumber dari hatinya jika ia ingat dengan sosok pangeran berkuda putih yang tak bisa ia miliki. Dalam wajahnya tampak kekecewaan yang mendalam, seringkali nafasnya tertahan karena warna yang dulu ia kenali kini telah pergi.
Di samping kursi yang ia duduki terdapat beberapa kenangan Devi dari kekasihnya yaitu Umar. Surat, cincin, bunga mawar dan boneka beruang yang berwarna coklat dari Umar akan ia hilangkan dari ingatannya. sering kali ia tersenyum namun bukan gembira melainkan senyum kehancuran jika ia melihat kenangan–kenangan itu. Air matanya pun langsung berlinang membanjiri wajah cantik yang ia miliki.
Ia duduk ditemani rasa hancur sambil memeluk gitar yang setia menemaninya. Pandangan matanya lurus ke teras rumah yang sedang terkena rintik hujan. Suara cicak dan katak pun seolah menemani alunan petikan gitar yang ia mainkan. Devi menggelengkan kepala. Kekecewaan yang ia rasa menjadikan ia ngobrol dengan dirinya sendiri di depan cermin. Seperti ini.
“Aku tuh bodoh. Kenapa aku masih berharap ia kembali. Aku salah bermimpi, mimpiku terlalu tinggi untuk ku gapai sehingga ketika ku jatuh rasa itu menusuk sampai ke jantung hati ini”
Ia langsung duduk di kasur yang berwarna merah muda seperti hatinya saat ia pertama kenal dengan Umar. Namun, kini warna itu menjadi pucat seperti hilang jiwanya. Dalam hatinya ia ingin melupakan. Namun semakin ia melupakan semakin ia terbayangkan sosok itu.
Setelah itu ia mencoba menulis sesuatu di kertas yang ada di sampingnya, ia mencoba menuliskan kata-kata yang sedang ia rasakan berharap bisa sedikit mengobati kehancuran itu. Tulisannya seperti ini.
“Andai engkau selalu di sisi mungkin aku takan pernah meraskan sepi. Andai kini aku bisa memelukmu mungkin luka ini sedikit terobati. Namun, andai saja awal itu aku aku pernah mengenalmu mungkin aku takan seperti ini, meski aku tak menyesal untuk mencintaimu”.
Namun kata-kata yang ia rangkai sendiri itu malah membuat ia ingat dengan Umar, sehingga keluarlah air matanya. Tangan yang putih dan halus selalu mengusap tetes demi tetes air mata yang jatuh di pipinya.
Sebenarnya masih banyak yang lebih dari Umar. Namun, Devi tak bisa melupakannya. Seribu jalan telah ia lalui hanya untuk melepaskan bayangan Umar. Namun, bukannya terlupakan tapi banyangan umar malah semakin menghantuinya. Rambutnya yang hitam dan panjang sering ia remas dan menjadi acak-acakan. Tangan yang indah itu selalu memegang kepalanya. Ia merasa terbebani.
Malam semakin larut dan satu bintang telah menciut sinarnya. Devi mencoba bangun dari kursi yang ia duduki, dan ia mencoba melepaskan kegalauan yang di rasa. Dengan langkah gontai tak terarah ia mencoba mendekai cermin tempat ia berbagi kisah dengan dirinya sendiri. Tubuh yang seksi beserta kulit yang putih dan rambut yang panjang yang ia miliki langsung berdiri di depan cermin. Ia mengusap air matanya dan tersenyum. Ia pun berbicara kepada cermin itu. Seperti ini.
“UughHh… Apakah kau akan selalu seperti Bintang? atau Bulan? yang hanya mampu ku pandangi dan tak bisa ku miliki. Atau kau terlalu tinggi untukku? sehingga aku tak bisa menggapainya.”
Tidak lama kemudian tangan yang halus itu mengobrak-abrik cosmetik-cosmetik yang ada tepat di bawah cermin. ia melempar-lemparkan cosmetik yang selalu setia menemani wajahnya. Lipstick, pelembab, parfum dan sebagainya berterbangan dan mendarat di lantai kamar yang berkramik puih menjadi acak-acakan.
Sementara itu di luar rintik hujan belum juga reda, malam semakin sunyi, udara semakin dingin. Namun, Devi membuka jendela kamarnya dan langsung melempar kenangan-kenangan saat ia masih dengan Umar. Dengan rasa tak karuan dan ia pun mulai lelah, ia naik ke atas kasur yang berbantalkan dua dan berselimut putih. Ia mencoba memejamkan kedua matanya. Namun, itu sia-sia, keinginan untuk memejamkan mata tak ia dapatkan, ia pun langsung bangun mendekati cermin lagi. Ia menatap matanya yang bengkak akibat kebanyakan air mata yang keluar. Keadaan pun menjadi hening dan jam dinding mengarah pada pukul 01.30. Ia pun langsung mengambil kertas kosong berwarna putih dan pulpen yang bertinta hitam. Ia sadar tidak ada gunanya ia menangisi keadaan ini. Ia langsung menulis sebuah kalimat yang sedang ia rasakan dan ia berharap Umar kan mengetahuinya. Kalimatnya seperti ini.
“Umar, mungkin pedih ini hanya aku yang rasa. Namun, ku berharap kau kan mendengarkannya. Mungkin Tuhan datangkan engkau untuk ku, hanya untuk membuat aku mengerti apa yang namanya cinta sejati. Yaitu, cinta yang tak mengenal pamrih dan tak harus memiliki.
Andai saja ada sedikit waktu untuku sebelum aku mati, ingin sekali aku melihat senyum mu tuk terakhir kali”
Setelah itu ia terbaring di lantai yang dingin Karena udara malam. Dan ketika ia sadar ia tak mengetahui kalau sekarang sudah pukul 06.00 pagi. Dan tanpa disadari ketika ia mengambil hand phon ada pesan masuk dari Umar. Seperti ini.
“’Hidup berawal dari mimpi. Sekarang adalah kenyataan bukan mimpi, namun mimpimu pun suatu saat akan jadi kenyataan asal kita mau berusaha. Ingat jangan sia-siakan waktumu dengan hal-hal yang tak tentu.”
Devi pun tersenyum lega setelah membaca pesan dari Umar itu. Ia pun membuka hari baru dengan senyuman yang baru.

Cerpen Karangan: Derif Rys Gumilar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar